Hampir seminggu setelah hujan mengucur deras. Orang-orang mengungsi di masjid. Genangan air tak kunjung surut. Tingginya sepinggul orang dewasa. Banjir itu datang bersamaan dengan jebolnya bendungan Sungai Campoan. Tiap hari awan hitam membungkus permukaan langit, disertai gerimis tipis liris serupa helai-helai rambut. Mereka berusaha meredam cemas. Khawatir rumah yang ditinggalkan sudah diseret air bah. “Ikhlaskan kalau memang rumah harus diseret banjir.” Maksan, laki-laki berkumis tebal, menepuk pundak kawannya yang menampakkan wajah murung. “Kalau air tak kunjung surut, apa tidak mungkin masjid ini juga bisa-bisa ditenggelamkan banjir?” tanya Kasno kepada Maksan. Mereka berdua bertetangga. Tapi, pembicaraan di antara mereka terjadi setelah dua lelaki paruh baya itu sama-sama mengungsi di masjid itu. Sebelum banjir datang, Kasno dan Maksan jarang bertegur sapa, apalagi sampai mengobrol berjam-jam seperti ini. “Masjid adalah tempat paling aman. Tak mungkin banjir bisa menenggelamkan rumah ibadah ini,” kata Maksan sembari menyulut sebatang rokok. Dingin menghunus setiap inci kulit. Orang-orang mengobrol dalam masjid, mengusir rasa bosan yang mulai menghinggapi benak mereka. Berlama-lama mengungsi tentu tidak nyaman. “Mengapa bisa begitu?” Kasno mengernyitkan dahinya. Menyipit matanya. Dipandanginya wajah Maksan yang tampak biasa-biasa saja. Diembuskannya asap rokok yang melegakan pikiran rumit Maksan. “Ini tempat ibadah. Rumah Allah. Tidak mungkin Allah akan menenggelamkan rumahnya sendiri.” Maksan mengulas senyum di bibirnya. Kasno menganggukkan kepala mendengar penjelasan Maksan pada pagi lembab. “Itulah mengapa orang-orang kerap berlindung di masjid ketika banjir datang.” Kasno menambahkan dengan binar-binar di matanya, mendahului ucapan Maksan. Beberapa jenak kemudian, Kasno merogoh sebungkus rokok dalam sakunya. Tidak tahu kapan air akan surut sehingga Kasno kerap berdoa agar air itu sesegera mungkin susut, menyingkir dari rumah-rumah penduduk. Namun, air justru bertambah meskipun hujan tidak turun setiap hari lagi, sebagaimana hari-hari sebelumnya. “Mungkin kita disuruh lebih lama tinggal di masjid supaya ingat ibadah,” bicara Kasno tak lebih serupa desis. Maksan tak menanggapi gumam kawan akrab satu-satunya, yang baru ia sadari kalau laki-laki itu tetangga sebelah rumahnya. Ia menikmati isapan demi isapan asap yang keluar masuk dari dada ringkihnya yang kian menyempit. Ketika awan membiarkan celah matahari bersinar menerpa tubuh dua laki-laki di samping masjid itu, Maksan mendadak terisak. Dibuang sebatang rokok yang masih menyala. Ia menundukkan wajah. Laki-laki bertubuh agak kerempeng itu ingat akan kematian sang istri. Pagi agak lembab ketika istrinya terperosok ke lubang parit di antara genangan air yang masih selutut. Waktu itu, istri Maksan berkukuh tetap tinggal di rumah. Sebagian warga mulai mengungsi, tidak mau menanggung risiko. Khawatir luapan air Sungai Campoan disertai curah hujan yang seakan siap menuangkan air dalam jutaan meter kubik per detik membuat mereka tak sanggup menyelamatkan diri. Mastini, istri Maksan, keras kepala. Tak mau dengar omongan-omongan tetangga, termasuk ucapan suaminya yang berkali-kali membujuk perempuan 35-an itu meninggalkan rumah. “Percayalah. Tak mungkin banjir,” ujarnya lembut pada Maksan. Kata-kata itu diulang-ulang begitu Maksan melontarkan bujukan padanya. Padahal Maksan menyadari, air itu mulai bertambah setiap harinya. Maksan menatap genangan air di depan rumahnya, yang lambat laun tingginya bertambah. Kematian istrinya menjadi jawaban bagi Maksan, mengapa perempuan berkulit kuning langsat itu tak mau meninggalkan rumah. Seseorang diminta menjemput Bardi, anak Maksan, ke sekolah. Jasad Mastini dibaringkan di atas lincak. Kecipak air di bawah ranjang bergoyang-goyang, lalu mengalir pelan-pelan ke setiap sudut rumah. Tangis Bardi meledak ketika bocah tujuh tahun itu berdiri di ambang pintu, melihat ibunya dikerumuni orang-orang. Maksan ikut menitikkan air mata. Ia menarik tubuh anaknya dari dekapan sang ibu. Bergotong royong warga menggali liang kubur secepat mungkin. Dikhawatirkan air makin bertambah. Kubur digali di pemakaman keluarga, di antara air yang pelan-pelan merambat masuk ke dalam. “Setiap tahun, setiap banjir pasti ada yang meninggal,” celetuk seseorang yang ikut ke pemakaman. “Mungkin karena makin banyak gedung berdiri, makin sedikit daerah resapan air, dan sungai-sungai kian menyempit.” “Mungkin pula karena Allah sedang menguji hamba-hamba-Nya.” “Bagaimana kalau itu azab?” Pertanyaan muncul dari mulut laki-laki berkumis tipis. Orang-orang jadi terdiam. Hanya bisa memandangi raut muka laki-laki itu. Mereka menghela napas panjang, melegakan tenggorokannya sekaligus mengaburkan bayangan kengerian perihal banjir yang dibilang azab oleh laki-laki dengan tulang-belulang serupa batang lidi pada sebidang dadanya itu. Jasad Mastini dimasukkan ke dalam liang lahat. Bardi menjerit. Sesaat kemudian, ia menangis panjang dan amat menyayat. Maksan menabur bunga di atas pusara sang istri. Nisan dipegangnya erat. Tak ingin dilepas. Wajah Bardi, anak mereka, membenamkan wajahnya ke dalam dada Maksan. Tujuh menit setelah orang-orang meninggalkan pemakaman. Mereka berdua juga ikut membawa langkahnya, menerabas air yang senantiasa mengalir, dengan ketinggian setumit orang dewasa. Tak sampai tujuh hari Maksan di rumah. Ia mesti meninggalkan rumah satu-satunya itu dengan menyimpan luka di dadanya lantaran tak bisa mengadakan tahlilan selama tujuh hari bagi sang istri. Warga berbondong-bondong menuju masjid, kurang lebih lima kilometer dari rumah yang mereka tinggalkan. Maksan bersama Bardi terpiuh-piuh melangkah menuju masjid. Dikabarkan melalui siaran televisi, banjir hampir menenggelamkan separuh kota. Orang-orang tercengang sekaligus heran, mengapa masjid-masjid tak tersentuh oleh air. Pengungsian dipusatkan di masjid-masjid karena itu cuma satu-satunya tempat yang luput dari serangan banjir. Aneh, pikir orang-orang dalam tempurung kepalanya. Sementara Maksan, selalu setiap hari, lepas maghrib mengaji di dalam masjid. Mengirim doa-doa kepada sang istri, yang kini mungkin makam itu sudah dilumat oleh banjir. Kasno mengakui kesedihan kawannya itu berlipat ganda mencekik hidupnya. Kerut-kerut di kening Maksan membentuk garis terombang-ambing. Sorot matanya suram. Kasno merasa bersyukur, banjir kali ini tak merenggut seorang pun nyawa keluarganya. Meskipun begitu, ia pernah menangis untuk kematian ayahnya sewaktu banjir melanda tahun lalu. “Apakah banjir memang kerap minta tumbal?” Maksan bertanya kepada Kasno. Tersenyum Kasno mendengar Maksan mengajukan pertanyaan serupa itu. Wajar Maksan melontarkan kalimat itu karena ia kerap menjadi saksi kematian warga setiap tahun, setiap kali banjir menghajar rumah mereka. Termasuk atas kematian ayah Kasno. “Banjir datang karena manusianya sendiri yang meminta. Sungai-sungai dipersempit. Sampah dibuang di sungai. Maka, ke mana lagi air itu akan mengalir jika tempat yang semestinya diusik.” Ucapan Kasno membuat Maksan merenung. Masuk ke dalam dirinya sembari membenarkan perkataan Kasno dalam hatinya. Mendung menggantung di langit. Dua laki-laki itu masuk ke dalam masjid. Mereka ingat belum mengerjakan shalat Isya. Kamis malam kesepuluh, lepas isya Maksan dikejutkan dengan mengalirnya air ke halaman masjid. Tujuh menit berlalu, air itu kian bertambah. Semula Maksan mengira air selokan masjid sedang meluap karena hujan mengucur deras semalam. Tapi, mata laki-laki paruh baya itu dibuat terbelalak ketika dilihatnya air terus bertambah hingga mencapai undakan masjid. “Banjir …. Banjir …. Banjir datang,” teriakan Maksan dari teras masjid disambut panik oleh orang-orang yang tengah terlelap. Berbondong-bondong mereka keluar. Maksan mencari Bardi di antara kerumunan orang-orang. Bocah itu langsung mendekap ayahnya. Butuh waktu lama agar warga pengungsi segera keluar dari masjid, mencari tempat aman. “Ke mana kita harus mengungsi?” “Apa masih ada masjid yang luput dari banjir?” Kepanikan merambati sekujur tubuh orang-orang sampai mereka menangis terisak-isak. Sebagian lari terbirit-birit, sebagian lagi memilih berdiam dalam masjid, berzikir pasrah, seperti siap menerima kematian apabila Izrail memang mau mencabut nyawa di antara banjir yang lambat laun masuk ke dalam masjid itu. Tiga puluh menit kemudian, air sudah mencapai lutut orang dewasa. Tubuh orang-orang bersila di dalam masjid hampir tenggelam oleh genangan air. Maksan berpandangan bingung melihat ruang dalam masjid dipenuhi air seutuhnya. “Kenapa Allah hendak menenggelamkan sendiri rumah-Nya?” Maksan menyimpan pertanyaan itu dalam dadanya. Pasti sebab banjir dikirim ke masjid didasari suatu hal. Di antara pikiran Maksan yang tak kunjung mendapat jawaban sebab musabab banjir dikirim ke masjid, ia mendengar jeritan orang-orang beristigfar, seakan ingat segunung dosa dan ingin menebusnya ketika itu juga. “Pertanda apakah ini, Pak?” Bardi, anak lelakinya, bocah tujuh tahun itu bertanya. Maksan menggeleng. Buru-buru mereka meninggalkan masjid, menerabas air yang makin meninggi setiap menitnya. Maksan gelisah. Sepanjang perjalanan mulutnya senantiasa beristigfar dengan air mata mengucur terus-menerus. *** Zainul Muttaqin Lahir di Garincang, Batang-batang Laok, Batang-batang, Sumenep, Madura, 18 November 1991. Menyelesaikan studi Tadris Bahasa Inggris di STAIN Pamekasan. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk Sumenep, Madura. Cerpen dan puisinya tersiar di sejumlah media nasional dan lokal. Salah satu penulis dalam antologi cerpen Wanita yang Membawa Kupu-Kupu 2008, Dari Jendela yang Terbuka 2013, Cinta dan Sungai-sungai Kecil Sepanjang Usia 2013, serta Perempuan dan Bunga-bunga 2014. I Made Somadita, lahir di Tabanan, Bali, tahun 1982. Dia menempuh pendidikan seni ISI Denpasar dan sampai kini menetap di Bali. Soma pernah diundang sebagai seniman residensi di NuArt Sculpture Park Bandung, The Netherland Amsterdam Belanda, KIAR 2014 India, CAP Studio Chiang Mai Thailand, dan Reuinon Island Perancis. Dia juga seringkali menerima pembelajar seni secara privat.
Sampahplastik merupakan salah satu penyebab utama penyumbatan saluran air sehingga dapat menyebabkan banjir, khususnya di jalanan. Jakarta sebagai Ibu Kota negara harus bebas dari bencana banjir. Karena sebagai pusat pemerintahan sudah seharusnya, Jakarta menjadi tempat yang nyaman untuk melakukan aktivitas kenegaraan.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Banjir adalah salah satu bencana alam yang menjadikan kondisi daratan tergenang oleh aliran air dalam volume yang berlebihan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, pengertian banjir adalah "berair banyak dan deras, kadang-kadang meluap, air yang banyak dan mengalir deras, serta peristiwa terbenamnya daratan karena volume air meningkat".Bencana banjir tidak hanya terjadi di perkotaan, daerah pedesaan yang memiliki wilayah resapan air yang luas pun dapat mengalaminya. Tentunya banjir di perkotaan dan pedesaan disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda dan menimbulkan dampak kerugian yang berbeda pula. Saat ini Indonesia sedang mengalami banjir di berbagai daerah, salah satunya di daerah Jawa Timur khususnya Probolinggo. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa meninjau titik-titik yang terdampak banjir akibat luapan Sungai Kedunggaleng, Kabupaten Probolinggo, Kamis 11/3/2021 sore. Seperti diketahui, curah hujan intensitas tinggi dan merata di daerah hulu Sungai Kedunggaleng pada Rabu 10/3/2021 sore, menyebabkan air sungai meluap dan menggenangi sejumlah jalan dan permukiman warga. Selain itu, banjir ini juga disebabkan sedimentasi dasar sungai dan sungai yang tidak mampu menampung debit air sungai yang sangat deras. Usai melakukan peninjauan, Gubernur Khofifah mengatakan bahwa ke depan Pemprov Jatim bersama Dinas PU Kabupaten Probolinggo akan segera membuat bronjong dan dengan BBWS Brantas akan segera membuat plengsengan permanen sebagai solusi penanganan banjir akibat luapan Sungai Kedunggaleng menyiapkan plengsengan permanen, orang nomor satu di Pemprov Jatim ini juga meminta pada seluruh warga untuk gotong royong mengaktifkan kembali relawan Jogo Kali serta tidak membuang sampah ke sungai. Hal ini dikarenakan seringkali banjir terjadi akibat menumpuknya sampah di bantaran disebabkan karena faktor alam, tetapi peran manusia juga sangat berpengaruh dalam hal ini. Kebiasaan tidak baik yang sering dilakukan manusia adalah membuang sampah sembarangan bahkan sampai membuang limbah sampah ke sungai. Selain mencemari kondisi sungai, efek yang akan ditimbulkan dari hal itu akan sangat berbahaya untuk kedepannya seperti sekarang yang sedang terjadi banjir hanya itu, dalam mengatasi masalah banjir juga perlu dilakukan kegiatan dengan melibatkan pemerintah, sektor swasta, akademisi, media, serta masyarakat termasuk para relawan untuk saling membantu korban banjir dan ikut menyelasaikan masalah ini. "Untuk itu saya minta tolong teman-teman media menyampaikan pesan bahwa memang sungai ini harus dijaga. Termasuk ikut mengajak para relawan jogokali. Kemudian untuk sampah yang berasal dari material gunung misalnya, akan segera dilakukan antisipasinya komprehensif," selaku Gubernur Jawa Timur sudah berniat untuk mengantisipasi agar banjir yang terjadi dapat diatasi. Jika pemerintah bekerja sendiri tanpa bantuan rakyatnya, bagaimana program yang sudah direncanakan bisa terwujud. Dalam kondisi seperti ini, Indonesia sedang terus-terusan tertimpa musibah, bukan saatnya untuk egois menyelamatkan sendiri, tetapi ini saatnya kita bekerja sama atau gotong royong untuk memulihkan Negara saya, kesadaran masyarakat Probolinggo masih minim tentang membuang sampah. Seharusnya mulai dari diri sendiri kita terbiasa membuang sampah pada tempatnya. Kepedulian terhadap sesama untuk saling mengingatkan pun sangat mendukung untuk mencegah terjadinya banjir. Kita tidak bisa melakukan pencegahan sendiri karena yang hidup di bumi ini bukan hanya kita. Tindakan orang lain untuk membuang sampah pada tempatnya akan berpengaruh pada lingkungan yang kita tempati. 1 2 Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Fenomenabencana banjir disebabkan oleh tingginya curah hujan, dan luapan air sungai. Fenomena tersebut dipengaruhi oleh kegiatan manusia seperti pembuangan sampah di 2 saluran-saluran air yang mengakibatkan aliran sungai menjadi tersumbat oleh banyaknya sampah yang menumpuk.
Sampah- sampah tersebut kemudian diangkut oleh truk milik Dinas Pekerjaan Umum yang memang sengaja didatangkan untuk mengangkut sampah sungai. Sungai pun kini tampak sangat bersih. Wali Kelas menjelaskan tentang arti pentingnya kebersihan sungai agar masyarakat di sekitar terbebas dari banjir saat musim hujan datang.
. 479 190 189 89 33 85 399 371